Desember 15, 2008

Struktur ekonomi dan pengentasan kemiskinan

STRUKTUR EKONOMI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN 

Walau Hingga Saat ini Ditentang berbagai gelombang protes di mana-mana, Pemerintah akhirnya memberlakukan penghapusan subsidi BBM terhitung 1 Oktober 2000  yang lalu. Setelah kenaikan tahap pertama tersebut pada bulan April 2001 yang akan datang Pemerintah akan menaikkan kembali BBM tersebut. Selain untuk menghilangkan disparitas harga dengan yang berlaku di pasar internasional sehingga telah mendorong terjadinya penyelundupan BBM ke luar negeri, penghapusan subsidi tersebut juga secara filosofis dimaksudkan untuk mengalihkan subsidi tersebut secara tepat kepada mereka yang  berhak. Selama ini subsidi yang melekat pada BBM tersebut lebih banyak dinikmati oleh mereka yang berdaya beli tinggi. Sementara penduduk miskin yang seharusnya mendapat prioritas menikmati subsidi tersebut tidak atau sedikit sekali menikmatinya.

 

Deputi Bidang Regional dan Daerah Bappenas (Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional), Herman Haeruman, pada suatu kesempatan pernah mengatakan bahwa selama ini subsidi BBM telah salah sasaran yang jumlahnya mencapai 60%. Menurutnya selama ini subsidi BBM lebih banyak dinikmati oleh mereka yang memiliki kendaraan pribadi, dibandingkan dengan angkutan umum dan angkutan barang serta masyarakat pada umumnya.

 

Subsidi

 

Sejak awal sebenarnya pola subsidi yang dilekatkan pada sumber daya (resource-based subsidy) seperti berlaku pada BBM tersebut dikritik para pakar. Pola subsidi tersebut hanya akan menguntungkan mereka yang berdaya beli tinggi. Sementara masyarakat yang berdaya beli rendah hanya sedikit sekali menikmatinya. Oleh karena itu sebagai gantinya diusulkan agar subsidi tersebut langsung diberikan kepada mereka yang tepat melalui mekanisme user-based subsidy. Pola ini pula yang direncanakan akan diterapkan dalam penyaluran dana Rp 800 milyar yang diperoleh dari kenaikan harga BBM rata-rat 12% tersebut. Seperti yang pernah dilansir oleh Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah, Erna Witoelar, selain dalam bentuk pembangunan prasarana dan bantuan kredit, penyaluran dana tersebut juga akan diberikan dalam bentuk tunai (cash transfer).

 

Adapun rincian dari penyaluran dana penghematan subsidi BBM sebesar Rp 800 milyar sebagai berikut. Sebesar Rp 250 milyar dialokasikan melalui Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (Depkimpraswil) untuk pembangunan akses infrastruktur di 3000 desa di luar Jawa; Rp 350 milyar dialokasikan untuk usaha kecil dan menengah yang disalurkan melalui Departemen Koperasi dan UKM, sementara Rp 250 milyar lainnya akan disalurkan kepada penduduk miskin dalam bentuk cash transfer, yang pelaksanaannya dikelola oleh Depdagri & Otda dan Bappenas. Besarnya dana yang akan disalurkan per kepala keluarga tersebut Rp 50.000,- yang dibayarkan setiap tiga bulan sekali, untuk kira-kira 1,7 juta kepala keluarga.

 

Pertanyaannya seberapa efektif penyaluran dana tersebut dalam membantu penduduk miskin yang akan atau telah mengalami goncangan akibat kenaikan BBM beserta dampak ikutannya. Karena pada saat yang sama kenaikan BBM tersebut juga akan berpengaruh terhadap sektor-sektor lain, yang tidak menutup kemungkinan memicu kenaikan harga dan peningkatan inflasi. Walaupun secara teoritis kenaikan harga BBM sebesar 12% hanya berimbas pada kenaikan 1% per produk, tapi tidak ada jaminan kalau tidak akan ada gejolak kenaikan harga. Selain dikhawatirkan program tersebut hanya dijadikan kamuflase untuk meredam resistensi di masyarakat. Terlebih lagi bila dikaitkan dengan pengalaman kegagalan dan kesemrawutan penyaluran dana JPS pada masa lalu.

 

Penyesuaian Struktur Ekonomi

 

Penghapusan subsidi BBM tersebut juga merupakan konsekwensi langsung dari kesepakatan Indonesia dengan IMF (International Monetary Fund) yang dalam LOI (Letter of Intent), yang salah satu klausulnya menghendaki penyesuaian dan reformasi struktur ekonomi, termasuk penghapusan segala bentuk subsidi yang tidak efisien. Program penyesuaian struktural yang dimaksud secara ringkas dapat digambarkan sebagai upaya yang dilakukan suatu negara agar merampingkan ekonominya menuju ekonomi pasar (market-driven economy).

 

Konsekwensi yang terjadi akibat dari penyesuaian tersebut adalah pemotongan subsidi pemerintah untuk pendidikan, pelayanan kesehatan dasar, transportasi umum (dalam bentuk penghapusan subsidi BBM dan kenaikan tarif angkutan) dan lain-lain. Dampak penyesuaian struktural ini lebih lanjut semakin menciptakan kemiskinan. Untuk itulah diperlukan program untuk melindungi kelompok masyarakat yang paling rentan, baik dalam bentuk program strategis jangka panjang maupun program darurat jangka pendek seperti Jaring Pengaman Sosial (SOcial Safety Net).

 

Dalam buku Social Safety Net, Issues and Recent Experiences terbitan IMF tahun 1988 yang diedit oleh Ke Young Chu dan Sanjeev Gupta, JPS secara umum didefinisikan sebagai sejumlah instrumen yang ditujukan untuk meringankan orang miskin terhadap dampak terburuk dari reformasi ekonomi. Instrumen itu setidak-tidaknya ada tiga, yakni subsidi, pengamanan sosial (social security), serta padat karya yang jelas kelompok sasarannya (target group).

 

Subsidi yang dimaksud adalah untuk meningkatkan daya beli masyarakat miskin, sehingga mempunyai akses untuk membeli kebutuhan pokoknya seperti bahan pangan, produk-produk energi, dan pelayanan transportasi. IMF sebenarnya sudah memaklumi adanya perlindungan sosial yang sudah berkembang secara tradisional di masyarakat tertentu seperti di Cnina, Indonesia, India, Afrika Sub Sahara. Masyarakat di negara-negara ini sudah mengembangkan pengamanan sosial melalui jaringan keluarga. Anggota masyarakat yang mengalami kesulitan ekonomi akan dibantu oleh anggota keluarga yang telah hidup mapan. Pada negara-negara yang secara tradisional tidak memiliki pengamanan sosial, maka dikembangkan pengamanan sosial formal seperti program pengaman sosial yang diadakan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

 

Kompleksitas Kemiskinan

Kemiskinan dalam pengertian konvensional pada umumnya (income) komunitas yang berada di bawah satu garis kemiskinan tertentu. Oleh karena itu sering sekali upaya pengentasan kemiskinan hanya bertumpu pada upaya peningkatan pendapatan komunitas tersebut. Pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa pendekatan permasalahan kemiskinan dari segi pendapatan saja tidak mampu memecahkan permasalahan komunitas. Karena permasalahan kemiskinan komunitas bukan hanya masalah ekonomi namun meliputi berbagai masalah lainnya. Kemiskinan dalam berbagai bidang ini disebut dengan kemiskinan plural. Menurut Max-Neef et. al, sekurang-kurangnya ada 6 macam kemiskinan yang ditanggung komunitas,  yaitu :

 

1.  Kemiskinan sub-sistensi, penghasilan rendah, jam kerja panjang, perumahan buruk, fasilitas air bersih mahal.

2.  Kemiskinan perlindungan, lingkungan buruk (sanitasi, sarana pembuangan sampah, polusi), kondisi kerja buruk, tidak ada jaminan atas hak pemilikan tanah.

3.  Kemiskinan pemahaman, kualitas pendidikan formal buruk, terbatasnya akses atas informasi yang menyebabkan terbatasnya kesadaran atas hak, kemampuan dan potensi untuk mengupayakan perubahan.

4.  Kemiskinan partisipasi, tidak ada akses dan kontrol atas proses pengambilan keputusan yang menyangkut nasib diri dan komunitas.

5.  Kemiskinan identitas, terbatasnya perbauran antar kelompok sosial, terfragmentasi.

6.  Kemiskinan kebebasan, stres, rasa tidak berdaya, tidak aman baik di tingkat pribadi maupun komunitas.

 

       Bila ditinjau dari konsep kebutuhan, maka 6 macam kemiskinan ini bisa diatasi dengan pemenuhan dua macam kebutuhan diatas. Kemiskinan ekonomi diatasi dengan memenuhi kebutuhan praktis sedang kemiskinan yang lain diatasi dengan pemenuhan kebutuhan strategis, (Lihat figure 1.1.).

 

Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan

       Akhir-akhir ini terlihat kecenderungan bahwa kemiskinan akan lebih banyak ditemui di wilayah perkotaan seiring dengan meningkatnya urbanisasi dan krisis ekonomi yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Padahal sebelumnya kemiskinan diidentikan dengan fenomena desa atau daerah terpencil yang minus sumber dayanya. Tapi kemiskinan tetap sebagai suatu kondisi sosial yang umumnya invisible dan belum dipahami sepenuhnya oleh para pengambil keputusan. Ini pula yang menjadi motif utama pelaksanaan Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) yang dalam pelaksanaannya menggunakan paradigma dan pemahaman baru.

 

       Kemiskinan sebagai masalah nasional, tidak dapat hanya diselesaikan oleh pemerintah melalui berbagai kebijaksanaan pembangunan, tetapi juga harus menjadi tanggung jawab bersama bagi semua pelaku pembangunan termasuk masyarakat itu sendiri. Kunci pemecahan masalah kemiskinan adalah memberi kesempatan kepada penduduk miskin untuk ikut serta dalam proses produksi dan kepemilikan aset produksi. Proyek P2KP yang telah diluncurkan pemerintah dengan penekanan pada pendekatan komunitas dan bertumpu pada pengembangan manusia.

 

       Ini terlihat jelas dalam latar belakang proyek yang menegaskan bahwa Proyek P2KP dirancang secara khusus dengan pengertian bahwa upaya pengentasan kemiskinan yang berkelanjutan akan dapat diwujudkan dengan lebih memberdayakan komunitas itu sendiri khususnya komunitas ditingkat kelurahan. Pemberdayaan komunitas dilaksanakan dengan menyediakan sumber daya yang tepat dan menekankan bahwa pengambilan keputusan maupun tanggung jawab berada di tangan komunitas sendiri. Memang ironis bahwa walaupun kemiskinan merupakan sebuah fenomena yang setua peradaban manusia, tapi pemahaman terhadapnya dan upaya untuk mengentaskannya belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Bahkan, dengan terjadinya krisis ekonomi di Indonesia orang miskin "baru" semakin bertambah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ingat..!!! Waktu akan terus berjalan.